23 Januari 2009

Mengapa Yahudi Mengincar Bocah-Bocah Palestina?

Terjawab sudah mengapa agresi militer Israel yang biadab dari 27 Desember 2008 kemarin memfokuskan diri pada pembantaian anak-anak Palestina di Jalur Gaza. Seperti yang diketahui, setelah lewat dua minggu, jumlah korban tewas akibat holocaust itu sudah mencapai lebih dari 900 orang lebih. Hampir setengah darinya adalah anak-anak. Selain karena memang tabiat Yahudi yang tidak punya nurani, target anak-anak bukanlah kebetulan belaka.

Sebulan lalu, sesuai Ramadhan 1429 Hijriah, Khaled Misyal, pemimpin Hamas, melantik sekitar 3500 anak-anak Palestina yang sudah hafidz Alquran. Anak-anak yang sudah hafal 30 juz Alquran ini menjadi sumber ketakutan Zionis Yahudi. "Jika dalam usia semuda itu mereka sudah menguasai Alquran, bayangkan 20 tahun lagi mereka akan jadi seperti apa?" demikian pemikiran yang berkembang di pikiran orang-orang Yahudi.

Tidak heran jika-anak Palestina menjadi para penghafal Alquran. Kondisi Gaza yang diblokade dari segala arah oleh Israel menjadikan mereka terus intens berinteraksi dengan Alquran. Tak ada main video-game atau mainan-mainan bagi mereka. Namun kondisi itu memacu mereka untuk menjadi para penghafal yang masih begitu belia. Kini, karena ketakutan sang penjajah, sekitar 500 bocah penghafal Quran itu telah syahid.

Wahai jiwa-jiwa yang tenang
Kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang puas lagi diridhai-Nya
Dan masuklah ke dalam jamaah hamba-hamba-Ku
Dan masuklah ke dalam surga-Ku ( QS Al Fajr 27-30 )
-----------------------------------------------------------------------------------
Sumber dari email di tasnim.muhammad@pajak.go.id


Selengkapnya......

08 Januari 2009

Dia Mungkin Seumuran dengan Adikku

Dia mungkin seumuran dengan adikku yang paling kecil. Berjalan lincah dengan seorang anak perempuan yang memegang sebuah gitar kecil, mungkin kakaknya.Turun dari tangga jembatan penyeberangan, Saat itu aku baru saja keluar dari sebuah plasa di kawasan Semanggi. Jam di handphone-ku menunjukkan angka 9. Ah, seharusnya anak-anak itu sudah harus beristirahat, menjauh dari hiru pikuk jalanan. Bahkan tidak seharusnya mereka berada di tempat seperti itu. Aku jadi teringat adikku di rumah di kampung halaman, perawakannya sama dengan anak kecil tersebut. Mungkin usianya sekitar 3 tahunan. Bedanya saat yang sama adikku mungkin sudah tidur di pelukan ibuku.Sedangkan anak-anak itu masih lalu lalang menawarkan jasa bermain gitar dan menyanyikan lagu demi sekeping rupiah.

Dia masih terlalu dini untuk mengahadapi kerasnya hidup di Jakarta. Tapi itu adalah sebuah realita, sebuah fakta sosial yang sampai detik ini belum bisa dituntaskan secara total. Walaupun sudah ada beberapa usaha,baik oleh pemerintah maupun oleh lembaga-lembaga kemanusiaan namun hasilnya tidak begitu memuaskan. Kita bisa lihat, hampir di setiap sudut kota Jakarta ini terdapat anak-anak yang harus “bekerja”. Di lampu merah, di terminal, di halte-halte, di bis kota, dan di tempat – tempat yang di situ banyak orang maka pasti ada mereka. Bahkan masa yang seharusnya mereka nikmati dengan bermain dan belajar, mereka harus membanting tulang. Sudah begitu masih ada saja orang-orang yang tega memanfaatkan mereka dengan mengkoordinir dan menempatkan mereka di berbagai titik untuk mengamen, mengemis atau yang sejenisnya kemudian hasilnya sebagian besar diambil.

Saya lantas membayangkan jika yang berjalan dengan anak perempuan yang memegang gitar kecil itu adalah benar-benar adik saya. Berdosa sekali jika saya membiarkan hal itu terjadi. Lantas dimana orang tua mereka ? Apakah mereka tidak mencari-cari keberadaan mereka yang sampai malam begitu belum juga ada di rumah ? Apakah mereka tida khawatir dengan keberadaan mereka ? Tidak. Bagi orang tua, anak-anak tersebut adalah pahlawan bagi mereka. Tentu diselingi dengan perasaan yang dipenuhi dengan keterpaksaan, demi perut yang harus terisi. Dan demi nafas yang harus dijaga agar tetap berhembus. Kalau mau jujur, mereka tentu tidak akan membiarkan anak-anak mereka harus ikut menanggung beratnya beban hidup. Dan keterpaksaan jualah yang akhirnya membuat hal itu menjadi sesuatu yang sangat wajar dan cukup manusiawi, toh dengan cara tersebut mereka bisa tetap bertahan. Tapi sampai kapan hal tersebut akan tetap berlangsung ?. Hanya waktu yang bisa menjawabnya. Dan mengutip syair Ebiet G Ade, tanyalah pada rumput yang bergoyang.

Malam itu sebuah pelajaran berharga terbentang di hadapanku. Sebuah pelajaran bahwa aku harus sadar dan percaya, bahwa Tuhan sudah sangat baik terhadapku dan keluargaku. Sebuah pelajaran bahwa rasa syukur itu harus senantiasa tertanam dalam setiap langkah hidupku. Bersyukur karena adikku bisa menikmati masa kecilnya dengan keriangan,bersyukur karena sampai saat ini aku merasa cukup untuk bisa menjalani kehidupan di Jakarta yang keras ini.

Kepada pemerintah, mohon kiranya untuk dapat memberi perhatian lebih kepada anak-anak generasi mendatang itu dengan membuat program-program yang dapat membuat mereka lepas dari kehidupan jalanan. Jangan hanya membuat anggaran untuk kemudian dimakan atau dikorupsi. Masa depan Indonesia ada di tangan anak-anak zaman sekarang. Beri sanksi dengan hukuman paling berat kepada orang-orang yang tega berbuat korupsi, berbuat sesuatu yang membuat kenyang perut dia sendiri dan membuat orang lain sengsara.
Hidup anak-anak Indonesia !.

Selengkapnya......